Motret Kok Miring

20130130-192831.jpg

Akhir tahun 2009 lalu saya sempat ikut kelas fotografi di Canon Photo School. Gurunya adalah Alm.Kumara Prasetya terkenal cukup keras. Keras dalam memberi doktrin pada murid-muridnya. Salah satu doktrin yang paling saya ingat adalah motret itu jangan miring. Saya masih ingat ada momen saat kami asistensi dengan beliau, salah satu rekan sekelas menyerahkan foto model yang diambil dengan angle miring. Kaget saya waktu selembar foto itu dilempar begitu saja oleh Pak Kum; sambil berkata “Apa ini?! Motret kok miring-miring!”.

Menurut saya Pak Kumara meletakkan fondasi yang bagus untuk orang yang baru mencoba belajar fotografi seperti saya. Foto bangunan atau arsitektur memang tidak boleh miring. Beliau sempat menjelaskan apa jadinya kalau kita disuruh memotret oleh perusahan real estate dan hasil foto rumah-rumahnya nampak miring seakan mau roboh. Mana ada orang tertarik membeli rumah yang terlihat akan roboh. Menyambung doktrin itu Pak Kumara mengajarkan pentingnya menggunakan tripod dan spirit level saat memotret arsitektur. Bahkan ada Pak Kumara punya teori : “tripod is a must, no tripod no photo”

Biasanya foto bangunan terlihat miring bila kamera tidak sejajar dengan horizon (tidak level). Tanpa tripod akan sangat sulit untuk mendapatkan level yang tepat. Misalnya foto Rydges hotel di atas. Saya pakai iPhone untuk memotretnya. Untuk bisa mendapat foto hotel itu secara utuh, mau tidak mau saya harus mendongakkan iPhone. Sama halnya waktu menggunakan kamera apapun. Mendongakkan kamera ke atas akan menghasilkan foto bangunan yang tampak seperti akan roboh ke belakang. Sebaliknya menundukkan kamera akan menyebabkan objek foto seolah akan roboh ke depan.

Pada kasus saya tadi bila saya mengarahkan kamera pada arah yang sejajar, maka bagian atas hotel akan terpotong tidak masuk dalam frame. Solusi pertama yang mungkin adalah dengan menggunakan lensa wide (lensa super lebar). Tapi dengan lensa wide pun ada efek negatifnya, bagian foreground akan mendominasi frame. Solusi berikutnya adalah pindah ke posisi yang lebih tinggi. Mungkin dengan memotret dari atas atap bangunan lain, atau mungkin dengan naik tangga/crane yang cukup tinggi. Seperti foto di bawah ini, rekan saya Wahyudi naik crane saat melakukan pemotretan bangunan kantor kliennya.

DSC_9120

Solusi berikutnya adalah dengan menggunakan lensa tilt and shift. Jujurnya saya belum pernah mencoba menggunakan lensa jenis ini. Katanya lensa ini sangat populer untuk foto arsitektur.

Kadang saya merasa bersalah bila memotret sesuatu dan hasilnya terlihat miring seolah akan roboh. Tapi kadang momen bisa menjadi alasan. Tanpa tripod dan tanpa lensa super lebar apakah saya jadi batal mengabadikan hotel Rydges tadi? Tentu tidak, karena tujuan saya hanya untuk mengambil foto dokumentasi, mengabadikan hotel di mana saya menginap dan bukan memotret arsitekturnya. Akan menjadi sangat konyol kalau keterbatasan alat menghentikan saya mengabadikan momen. Tapi jauh lebih konyol kalau saya bawa tripod, punya lensa super lebar tapi hasil fotonya tetap saja miring :-).

Arsitektur Langit-Langit

Arsitektur langit-langit bisa menjadi salah satu ciri khas sebuah bandara. Misalnya di bandara Soekarno Hatta Jakarta ini :

20130128-185852.jpg

Bandara Internasional Sydney juga punya arsitektur yang unik di Terminal 1 keberangkatan internasionalnya :

20130128-185907.jpg

Airbus A380

Sejak pagi tadi waktu saya mendarat dari Wellington, Sydney sudah diguyur hujan deras. Proses landing jadi sedikit menegangkan. Hujan rupanya bertahan sampai siang ini. Sambil makan siang saya ambil foto situasi bandara internasional Sydney saat masih hujan rintik-rintik. Di foto nampak 2 pesawat Airbus A380 milik Qantas dan Singapore Airlines.

20130127-132802.jpg

20130127-152046.jpg

Pesawat yang benar-benar bongsor. Pesawat lain sekelas Boeing 737-800 jadi nampak kecil sekali bila melintas di antara 2 pesawat besar ini.

Mudah-mudahan penerbangan saya selanjutnya menuju Jakarta berlangsung aman di tengah hujan seperti ini.

Mencoba Kamera iPhone 4S

Perjalanan kali ini ke NZ, menjadi momen yang baik sekali untuk menjajal seberapa bagus kamera iPhone 4S. Singkatnya, saya sangat puas dengan hasil-hasil foto yang diambil dengan iPhone ini. Baik saat memotret di siang hari maupun saat memotret di tempat yang minim pencahayaan. Hasilnya bisa dibandingkan dengan hasil foto kamera-kamera saku. Meskipun saya juga membawa kamera saku Nikon P7000, dalam banyak kesempatan saya sudah cukup puas dengan hasil foto iPhone sehingga saya jadi agak malas mengeluarkan Nikon P7000. Apalagi untuk foto-foto yang sifatnya dokumentasi, menurut saya kamera iPhone 4S ini sangat memadai. Tapi saya masih perlu mencoba mencetak file-file fotonya untuk benar-benar membuktikan kehandalan kamera iPhone.

Lalu apakah saya masih perlu melakukan editing pada hasil foto-foto di iPhone? Biasanya saya biarkan saja foto-foto itu apa adanya. Tapi ada kalanya saya merasa saturasi warnanya tidak seperti yang saya harapkan. Misalnya foto berikut ini :

20130127-121343.jpg

Foto area Wellington Days Bay ini lagi-lagi diambil dengan mode panorama. Rasanya ada yang kurang dengan kontras & saturasi warnanya. Dengan Photoshop Express, saya naikkan sedikit kontras & saturasi, dan menurunkan brightness. Berikut hasilnya :

20130127-124624.jpg

Lalu saya coba utak-atik sedikit dengan aplikasi Camera+, mencoba menambah filter cross-processing 50%.

20130127-115511.jpg

Hasilnya memang jadi cenderung berlebihan & terasa terlalu “ngejreng“. Baiklah sepertinya menambah sedikit saturasi & kontras sudah cukup untuk memoles foto aslinya. Rasanya saya perlu mencetak 3 foto ini bersama-sama untuk membandingkan sebenarnya apakah kualitas hasil foto asli di iPhone menipu mata atau memang sudah bagus untuk dicetak. .

Bagaimana menurut Anda? Apakah Anda lebih suka hasil foto aslinya?

Update :

20130128-214043.jpg

20130128-214452.jpg