Banjarmasin II (part 3) – Soal Bos

Sejak kerja di Jakarta, saya sering sekali orang saling dengan sapaan “BOS”. Dari mulai tukang ojek menyapa penumpang, tukang parkir memanggil tamunya, sopir taksi memanggil tamunya, sampai orang-orang kantoran saling menyapa ke sesama rekan. Jujur saya sebel kalau ada yang panggil saya “bos”. Lah dia bukan anak buah saya kok panggil saya “bos”. Sepertinya kalau saya jadi atasan pun, saya tetap risisapaan “bos”. Saya akan lebih senang dipanggil cukup dengan “pak”.

Di telinga dan di benak saya, sapaan “bos” mengandung sinisme. Terkesan menjilat gitu loh. Kalau pun bukan menjilat, ada muatan sok akrab di dalamnya. Kenapa sih orang di Jakarta (bahkan di daerah lain) suka memanggil orang lain yang bukan atasannya dengan panggilan “bos”. Apa ada ya orang-orang yang memang senang dipanggil “bos”? Mungkin benar juga apa yang dikatakan seorang teman, di Jakarta itu orang gampang jadi bos. Dengan uang Rp1000,- kita bisa jadi bos (lah itu lihat saja kalau bayar parkir sama petugas parkir gelap, langsung dipanggil bos). Dengan uang Rp1000,- orang juga bisa saling bunuh.

Setuju gak dengan pendapat saya? Kalau gak setuju ya silakan, tapi please jangan panggil saya dengan sebutan “bos”.

6 thoughts on “Banjarmasin II (part 3) – Soal Bos

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.