Malaysia (part 1) – KLCC

Akhir November lalu saya berkesempatan mengunjungi Malaysia, ada project di Kuala Lumpur. Ini perjalanan dinas pertama dalam kurun waktu 2 tahun terakhir, sejak 2009 saya tidak pernah pergi keluar Jakarta lagi untuk urusan pekerjaan. Di Kuala Lumpur saya menginap di Shangrila Hotel, review hotel mungkin di tulisan berikutnya. Ah jadi ingat masa-masa keliling Indonesia tahun 2008 lalu, saya cukup rajin membuat liputan perjalanan termasuk menulis review hotel-hotel yang saya tempati.

Kamar saya memiliki view yang cukup menarik, menara Petronas di KLCC terlihat (meskipun hanya 1 menara yang terlihat). Sore pertama saya di Kuala Lumpur, langit sedang bagus-bagusnya. Meskipun sore itu Kuala Lumpur diguyur hujan, langit birunya cantik sekali. Langsung ambil kamera untuk memotret. Hasilnya kurang lebih seperti ini :

Banyak fotografer menyebut foto seperti ini sebagai “blue hour“. Dulu waktu belajar fotografi Canon School of Photography, saya diajari guru saya (guru saya namanya Kumara Prasetya) tentang teknik pengambilan foto di saat blue hour. Saya masih ingat teorinya Pak Kumara seperti ini :

  1. Harus & wajib pakai tripod. Tripodnya harus yang kokoh, tidak boleh yang “dancing in the wind“, begitu Pak Kum menyebut tripod ringkih yang gampang goyang.
  2. Harus pakai spirit level, ini adalah tools untuk mengukur kemiringan (horizontal & vertikal). Foto pemandangan kota di senja hari harus “level”, supaya tidak ada gedung yang terlihat miring.
  3. Harus pakai cable release, ini katanya untuk mengeliminir getaran saat menekan tombol rana (shutter button).
  4. Waktu pemotretan itu setelah jam 6 sampai kira-kira pukul 6.30 sore. Kata Pak Kum, sebelum jam 6 langitnya masih terlalu terang & setelah jam 6.30 langit sudah terlalu gelap (gedung tidak nampak lagi dimensinya).
  5. Atur diagfragma (aperture) di seputar f/8 – f/16 untuk mendapat ruang tajam yang seluas-luasnya.
  6. Gunakan ISO terendah, misalnya ISO 100.
  7. Matikan fitur Image Stabilizer pada lensa.
  8. Karena kita disuruh menggunakan bukaan diagfragma yang relatif kecil & ISO yang rendah, maka konsekuensinya kecepatan buka rana (shutter speed) akan sangat lambat. Shutter speed-nya hampir di atas 1 detik. Menurut Pak Kumara, pemotretan dengan kecepatan di atas 1 detik itu disebut long exposure. Dengan kecepatan di atas 1 detik, tiupan angin bisa membuat foto jadi kabur. Balik lagi ke aturan nomor 1, tripodnya harus kokoh. Pokoknya yang kenal Pak Kumara pasti tahu mottonya Pak Kumara :  “tripod is a must, no tripod no photo”

Saya ingat betul semua teori itu, sayangnya beberapa hal tidak dapat saya penuhi sore itu di Malaysia. Pertama, saya tidak bawa tripod karena hilang tripod plate-nya. Kedua, karena tidak bawa tripod, saya juga tidak bawa cable release apalagi spirit level.

Tapi sangat amat sayang kalau momen “blue hour“nya lewat begitu saja. Akhirnya saya langgar banyak teorinya Pak Kumara. Saya tetap motret dengan hand held (kamera dipegang saja), menggunakan ISO tertinggi yang ada di kamera saya, ISO 1600. Walaupun saya tahu dengan ISO 1600 hasil fotonya tidak akan jernih, terlalu banyak (noise). Tapi lebih baik daripada tidak ada foto sama sekali. Lensa saya set di bukaan terbesar f/3.5 dengan fitur image stabilizer di posisi ON. Dengan pengaturan seperti itu, kamera menentukan kecepatan rana 1/8 detik. Kecepatan yang sangat rendah dan jaminan fotonya kabur (shake). Saya coba segala cara untuk minimalisir goyangan dengan tahan napas, menempelkan badan di jendela.

Meskipun saya langgar banyak ajarannya Pak Kumara, saya masih berusaha memenuhi aturan tentang kemiringan, saya perhatikan betul-betul supaya jangan sampai gedungnya terkesan miring. Kalau teman saya bilang : “you have to know the rule of the game and after that you can break it if you want.” Mudah-mudahan ini tidak dianggap sebagai excuse ;))

3 thoughts on “Malaysia (part 1) – KLCC

  1. Pingback: Metropolitan Sore Hari | Blognya Tedy Tirtawidjaja

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.