Cetak Foto Hasil Kamera iPhone

Kemarin saya mampir ke Adorama cabang Plaza Senayan untuk mencetak hasil-hasil foto trip kemarin. Seperti yang saya tulis di tulisan sebelumnya, saya penasaran ingin tahu seperti apa sih hasil cetak foto yang yang dihasilkan oleh iPhone. Saya wanti-wanti pesan supaya operator cetaknya tidak melakukan editing apapun.

Ada 3 foto panoramik yang saya cetak sekadar untuk membandingkan foto asli, hasil edit kontras/saturasi, dan hasil olahan aplikasi. Ternyata yang paling bagus hasilnya menurut selera saya adalah hasil foto yang sudah dinaikkan kontras & saturasinya. Hasil cetak foto aslinya sebenarnya sudah bagus, hanya masih terasa agak flat. Dengan edit minim saja (menaikkan kontras & saturasi), hasil cetaknya tampak lebih menarik. Sementara hasil olahan aplikasi yang menambahkan efek filter dll, tampak terlalu berlebihan.

20130205-215038.jpg

Saya cetak ketiga foto panoramik itu ukuran 10RS (25x30cm), tentu jadi banyak bagian kosong di atas & bawahnya. Harga cetak foto glossy ukuran 10RS di Adorama, per lembarnya dikenai biaya Rp13000,-.

Saya juga cetak 15 foto hitam putih dari kumpulan foto ini. Semuanya dicetak dalam ukuran 6R. Harga cetak foto glossy ukuran 6R, ongkos cetaknya Rp7000,-/lembar. Puas saya dengan semua hasil cetak fotonya. Sepintas bila dilihat hasilnya tidak jauh beda (atau bahkan tidak bisa dibedakan) antara foto hasil kamera digital & hasil jepretan iPhone.

Motret Kok Miring

20130130-192831.jpg

Akhir tahun 2009 lalu saya sempat ikut kelas fotografi di Canon Photo School. Gurunya adalah Alm.Kumara Prasetya terkenal cukup keras. Keras dalam memberi doktrin pada murid-muridnya. Salah satu doktrin yang paling saya ingat adalah motret itu jangan miring. Saya masih ingat ada momen saat kami asistensi dengan beliau, salah satu rekan sekelas menyerahkan foto model yang diambil dengan angle miring. Kaget saya waktu selembar foto itu dilempar begitu saja oleh Pak Kum; sambil berkata “Apa ini?! Motret kok miring-miring!”.

Menurut saya Pak Kumara meletakkan fondasi yang bagus untuk orang yang baru mencoba belajar fotografi seperti saya. Foto bangunan atau arsitektur memang tidak boleh miring. Beliau sempat menjelaskan apa jadinya kalau kita disuruh memotret oleh perusahan real estate dan hasil foto rumah-rumahnya nampak miring seakan mau roboh. Mana ada orang tertarik membeli rumah yang terlihat akan roboh. Menyambung doktrin itu Pak Kumara mengajarkan pentingnya menggunakan tripod dan spirit level saat memotret arsitektur. Bahkan ada Pak Kumara punya teori : “tripod is a must, no tripod no photo”

Biasanya foto bangunan terlihat miring bila kamera tidak sejajar dengan horizon (tidak level). Tanpa tripod akan sangat sulit untuk mendapatkan level yang tepat. Misalnya foto Rydges hotel di atas. Saya pakai iPhone untuk memotretnya. Untuk bisa mendapat foto hotel itu secara utuh, mau tidak mau saya harus mendongakkan iPhone. Sama halnya waktu menggunakan kamera apapun. Mendongakkan kamera ke atas akan menghasilkan foto bangunan yang tampak seperti akan roboh ke belakang. Sebaliknya menundukkan kamera akan menyebabkan objek foto seolah akan roboh ke depan.

Pada kasus saya tadi bila saya mengarahkan kamera pada arah yang sejajar, maka bagian atas hotel akan terpotong tidak masuk dalam frame. Solusi pertama yang mungkin adalah dengan menggunakan lensa wide (lensa super lebar). Tapi dengan lensa wide pun ada efek negatifnya, bagian foreground akan mendominasi frame. Solusi berikutnya adalah pindah ke posisi yang lebih tinggi. Mungkin dengan memotret dari atas atap bangunan lain, atau mungkin dengan naik tangga/crane yang cukup tinggi. Seperti foto di bawah ini, rekan saya Wahyudi naik crane saat melakukan pemotretan bangunan kantor kliennya.

DSC_9120

Solusi berikutnya adalah dengan menggunakan lensa tilt and shift. Jujurnya saya belum pernah mencoba menggunakan lensa jenis ini. Katanya lensa ini sangat populer untuk foto arsitektur.

Kadang saya merasa bersalah bila memotret sesuatu dan hasilnya terlihat miring seolah akan roboh. Tapi kadang momen bisa menjadi alasan. Tanpa tripod dan tanpa lensa super lebar apakah saya jadi batal mengabadikan hotel Rydges tadi? Tentu tidak, karena tujuan saya hanya untuk mengambil foto dokumentasi, mengabadikan hotel di mana saya menginap dan bukan memotret arsitekturnya. Akan menjadi sangat konyol kalau keterbatasan alat menghentikan saya mengabadikan momen. Tapi jauh lebih konyol kalau saya bawa tripod, punya lensa super lebar tapi hasil fotonya tetap saja miring :-).

Mode Panorama iOS 6

Sebenarnya saya sudah tahu kalau iOS 6 di perangkat Apple sudah dilengkapi dengan kemampuan membuat foto panoramik. Baru kali ini saya punya kesempatan untuk mencoba menggunakannya pada objek yang menarik. Sebelumnya saya sudah coba tapi hanya sebatas view meja kerja, boring & terasa agak pathetic 🙂

20130122-224023.jpg
20130122-224425.jpg
20130122-225753.jpg
20130122-223718.jpg
20130122-224832.jpg
20130122-224309.jpg

Ternyata mode panoramik itu memang menarik untuk dinikmati, apalagi kalau objeknya mendukung. Cukup pegang iPhone secara vertical & gerakkan dari arah kiri ke kanan.

20130122-235607.jpg

Tidak mudah juga menjaga kestabilan tangan untuk mempertahankan kamera bergerak pada posisi yang benar-benar horizontal (mengikuti garis panduannya).

Siang Yang Panjang

IMG_0620

Ini kali pertama saya merasakan siang yang panjang di musim panas (summer). Agak aneh rasanya melihat langit terang benderang dengan matahari masih bersinar tapi bulan sudah muncul di arah lain. Foto di atas diambil pukul 19:19 atau pukul 7.19 malam. Langit masih terang sampai kira-kira pukul setengah 9 malam. Suasana pukul setengah 9 malam rasanya seperti maghrib di Jakarta atau sekitar pukul 6 lebih di Jakarta.