Junior Suite

This panoramic picture taken in Crowne Plaza Hotel Bandung (last October 19, 2015). Newly opened hotel (mid August 2015) in Jalan Lembong Bandung. Lovely Junior Suite room, bumped up to this room due to Spire Elite IHG membership.

Sunflower Garden Changi Aiport

Tanggal 16 Agustus 2014 lalu saya pulang dari Manila dengan menumpang Singapore Airlines (SQ917). Pesawat harusnya berangkat dari Manila pukul 14.15 (waktu Manila lebih cepat 1 jam dari Jakarta). Saat itu saya juga sudah memegang tiket lanjutan dari Singapura ke Jakarta pukul 18.40 menggunakan SQ966. Waktu transit di Singapore sangat singkat. Ternyata penerbangan saya dari Manila delay sehingga baru berangkat sekitar pukul setengah 3 lebih. Saya was-was khawatir tidak dapat mengejar pesawat lanjutan ke Jakarta. Di layar monitor pesawat ini saya bisa melihat gate kedatangan berada dekat dengan gate tempat pesawat saya ke Jakarta. Informasi yang cukup melegakan karena saya tinggal berjalan beberapa gate saja.

Ternyata pesawat baru mendarat di Singapore pukul 18.25. Dalam hati saya masih berharap bisa berlari ke gate berikutnya. Ternyata setelah pesawat berhenti pun, pintu tidak kunjung dibuka. Akhirnya sebelum pintu pesawat dibuka, pramugari mengumumkan penumpang penerbangan lanjutan harus melapor kepada petugas. Itu termasuk para penumpang SQ966 ke Jakarta. Begitu turun pesawat beberapa kru Singapore Airlines sudah menunggu, kami diminta menukarkan boarding pass karena pesawat SQ966 sudah tutup boarding-nya. Saya mendapat pesawat pengganti SQ968 yang dijadwalkan terbang ke Jakarta pukul 9 malam. Pihak Singapore Airlines memberikan kupon makan sebagai complimentary.

Saya punya waktu cukup lama untuk berjalan-jalan di Terminal 2 Changi. Saya ingat ada taman bunga yang belum pernah saya kunjungi di Terminal 2. Taman bunga tersebut terletak di lantai 2 Terminal 2 Changi Airport. Untuk menuju ke taman tadi, saya perlu ke lantai 2 melewati hotel, game center, bioskop, dan kemudian keluar dari pintu bertuliskan “Sunflower Garden”. Ya betul, objek utama taman ini adalah bunga matahari. Meskipun demikian taman ini memiliki beberapa jenis tanaman bunga lainnya.

Saya kagum melihat tanaman bunga matahari yang besar-besar, berada di balkon bangunan bandara berlatar belakang pesawat berlalu-lalang. Saat itu waktu hampir menunjukkan pukul 7 malam, tapi karena Singapore 1 jam lebih cepat dari Jakarta langit masih cerah & sinar matahari masih cukup untuk memotret. Segera saya memotret dengan kamera Fuji X100s yang selama di Manila belum pernah saya pakai memotret. Ini beberapa foto yang saya dapat dari Sunflower Garden :




Belum puas memotret Fuji X100s saya kehabisan batere. Akhirnya saya beralih memotret dengan menggunakan kamera ponsel saja.


Tidak heran bila Changi Airport (kode : SIN) beberapa kali menjadi langganan The Best Airport in The World. Bandara ini benar-benar memanjakan penumpang yang singgah ke Singapore. Menikmati taman bunga ini cukup mengurangi kekesalan saya ketinggalan pesawat. Setelah puas menikmati taman ini, saya pergi makan malam. Di kupon makan yang saya dapat tercantum beberapa nama restoran, tapi cuma satu yang menarik untuk dikunjungi; Hard Rock cafe yang berada di Terminal 3 Changi. Bertambah kagum saya dengan Changi Aiport, bagaimana tidak kagum bandar udara ini memiliki Hard Rock cafe sendiri. Selesai makan di Hard Rock saya baru tahu kalau kupon makan tadi hanya bernilai SGD $20. Sisa tagihannya saya bayar sendiri. Bolak-balik dari Terminal 2 ke Terminal 3 sangat mudah, tinggal menggunakan SkyTrain saja. SkyTrain ini juga salah satu hal yang saya kagumi dari Changi Airport. Begitu kira-kira pengalaman saya “berwisata” singkat di Changi.

Lalu Lintas & Taksi Di Manila

Minggu lalu saya pergi ke Manila untuk urusan pekerjaan. Ini kali kedua saya pergi Manila setelah kunjungan kali pertama tahun 2011 lalu. Bagi saya Manila banyak miripnya dengan Jakarta, terutama dalam urusan lalu lintas & macetnya. Perbedaan paling mencolok menurut saya cuma posisi berkendara di sebelah kanan (setir mobil ada di sisi kiri). Bepergian dengan taksi yang dikemudikan di sisi kiri, bagi saya membuat pusing.

Di sepanjang jalan kota Manila saya bisa lihat mayoritas tipe mobil hampir sama dengan Jakarta. Misalnya Toyota Vios, Avanza, Innova banyak sekali di Manila. Saya juga amati cukup banyak juga mobil jenis pickup seperti Toyota Hilux atau Mitsubishi Strada. Kendaraan unik yang menurut saya bisa dibilang sebagai maskotnya Filipina adalah Jeepney (dibaca “jip-ni”). Jeepney ini adalah kendaraan hasil modifikasi mobil jip menjadi semacam bus kecil. Jeep lama seperti ini kalau di Indonesia sering dipakai sebagai kendaraan offroad. Anda yang pernah ke Bromo pasti pernah melihat (atau pernah menggunakan jeep) untuk naik ke puncak Bromo . Entah bagaimana persisnya mereka melakukan modifikasi, yang jelas chassis mobil jip ini diperpanjang sehingga bisa menampung penumpang dalam jumlah banyak.

jeepney

Jeepney sebagai angkutan umum punya banyak kemiripan dengan angkot di Indonesia. Penumpang Jeepney duduk dalam 2 baris saling berhadap-hadapan. Bedanya dengan angkot yang umumnya memiliki pintu di sisi mobil, penumpang Jeepney masuk dari bagian belakang mobil. Mudah sekali menjumpai Jeepney di jalanan Manila. Beberapa kali saya juga menjumpai pangkalannya dengan Jeepney yang terpakir sangat banyak. Meskipun menggunakan mesin mobil tua, saya beberapa kali melihat supir Jeepney mengemudikan kendaraannya cukup kencang di jalanan yang lowong. Dari hasil obrolan dengan supir taksi katanya ongkos naik Jeepney ditentukan berdasar jarak, lagi-lagi mirip angkot di Indonesia. Hal lain yang menurut saya mirip dengan angkot adalah budaya menggunakan soundsystem yang diputar dengan kencang. Tiap-tiap Jeepney dihias sedemikian rupa dengan cat dan gambar-gambar yang mencolok.

Sejauh ini bagi saya yang paling menyebalkan dari transportasi di Manila bukan soal macetnya. Bagi saya taksi Manila lebih menyebalkan dari macetnya sendiri. Macetnya Manila menurut saya masih kalah dengan macetnya Jakarta. Macet di sana lebih banyak karena lampu merah. Kalaupun lalu lintas padat, kendaraan masih bergerak pelan-pelan. Entah mungkin karena saya belum terlalu lama berada di Manila, saya belum menjumpai macet horor seperti di Jakarta saat kendaraan berhenti bergerak untuk waktu yang cukup lama.

Kebanyakan taksi yang lalu lalang di Manila menggunakan sedan Toyota Vios. Lucunya hampir di semua taksi yang saya jumpai, nama pengemudi dicat di pintu mobilnya. Saya cukup heran mengapa cat yang digunakan untuk menuliskan informasi pada badan taksi itu hanya cat biasa. Kalau diamati dari dekat seperti dicat dengan kuas secara manual. Tadinya saya pikir itu hanya dilakukan oleh taksi-taksi tua yang sudah tidak terawat. Tapi saya pun menjumpai mobil baru dengan cara pengecatan seperti itu.

manila-taxi

Bagi saya lucu melihat hampir semua taksi bertuliskan “Air Con”. Seolah-olah AC mobil adalah hal istimewa tersendiri bagi taksi tersebut. Saya mendapati pengalaman yang kurang menyenangkan dengan taksi di Manila. Dari dua kali kunjungan ke Manila, saya belum sekalipun menjumpai pengemudi taksi umum yang mengemudikan taksinya dengan nyaman. Saya senang memperhatikan gaya mengemudi supir taksi khususnya di Jakarta. Di Jakarta pengemudi taksi BlueBird/SilverBird yang menurut saya mengemudikan mobilnya dengan baik (cukup nyaman bagi penumpang). Meskipun demikian taksi lain pun relatif masih OK. Apa sih ukuran nyamannya? Gampang, amati saja mulai dari gaya memindahkan gigi persneling, cara menginjak pedal gas, cara menyalip mobil, cara berpindah jalur, dan yang paling penting cara mengerem. Di Manila tidak satupun yang nyaman. Seburuk-buruknya supir taksi di Jakarta, menurut saya masih jauh lebih baik dari supir taksi di Manila.

Pengalaman kedua saya dapatkan pada trip kemarin. Saya menginap di Holiday Inn Makati. Makati ini pusat kota dan juga business district, anggap saja kawasan Sudirman-Thamrin atau Mega Kuningan-nya Jakarta. Saya harus mengunjungi client yang kantornya terletak di kawasan Pasig City. Letaknya sekitar 10–15km dari hotel tempat saya menginap. Selain jauh lokasinya melewati daerah pusat kemacetan. Berangkat ke sana tidak terlalu menjadi soal karena ada pangkalan taksi di lobi hotel. Pulangnya yang repot. Sekitar pukul setengah 8 malam saya mulai menunggu taksi di pinggir jalan. Setidaknya ada 5 taksi yang menolak untuk membawa saya ke Makati. Masih cukup bersabar saya menunggu taksi, dengan plan B saya akan menelepon hotel minta dijemput saja.

Setelah 1 jam menunggu akhirnya saya berhasil juga mendapat taksi yang bersedia membawa saya kembali ke hotel. Dari Makati sampai Pasig City biaya taksinya antara 300–400 Peso. Saya tidak tahu berapa normalnya, kabarnya sudah umum argometer taksi di sana tidak pernah akurat alias argo siluman. Mulai hari kedua saya sudah kapok menggunakan taksi umum. Saya pilih menggunakan taksi hotel saja. Sekali jalan saya harus membayar 900 Peso. Relatif mahal dari taksi biasa. Tapi kalau saya hitung-hitung ongkosnya mirip dengan menggunakan SilverBird di Jakarta. Nilai tukar Phillipine Peso itu sekitar Rp250,-.

Dari Google saya jadi tahu tidak sedikit cerita pengalaman orang tentang taksi di Manila. Kurang lebih sama dengan pengalaman saya tadi. Untuk urusan kenyamanan berkendara dengan taksi, saya masih lebih menjagokan Jakarta. Kira-kira begitu sedikit cerita tentang taksi dan lalu lintas di Manila.

Foto Lama

Tadi saya iseng melihat-lihat kembali arsip foto-foto di external harddisk. Saya melihat folder foto trip ke Perancis 2008 lalu. Ada beberapa foto yang menarik perhatian saya, salah satunya foto di atas. Dulu rasanya foto ini biasa saja. Saya lupa nama lokasi foto ini tapi saya ingat foto ini diambil di kota Saint-Étienne. Saya coba edit menjadi foto hitam putih. Lumayan, daripada tersimpan begitu saja di harddisk. Memang benar kata orang butuh perspektif baru untuk bisa menikmati sebuah foto.

Foto ini diambil dengan kamera Nikon pertama saya, Coolpix L14. Foto-foto yang saya liha tadi kualitas gambarnya terasa biasa saja, tidak terlalu tajam, warna yang terasa “hambar” (dull?). Apalagi kalau saya bandingkan dengan kamera-kamera yang saya pakai sekarang. Bahkan rasanya sekarang kualitas foto dari kamera Coolpix ini sudah terlampaui oleh iPhone. Teknologi memang begitu cepat berganti, kamera saku boleh dibilang hampir (atau sudah) tergantikan oleh kamera ponsel.

Membeli Tiket Dengan Poin GFF

Minggu lalu saya ingin membeli tiket pesawat ke Yogyakarta untuk menghadiri resepsi pernikahan rekan saya. Ternyata harga tiket Garuda Indonesia jurusan Jakarta-Yogyakarta untuk bulan April nanti cukup mahal, sekitar 1,7 juta rupiah. Untung saya ingat kalau saya masih punya poin Garuda Frequent Flyer (GFF). Setelah saya cek ternyata saya masih punya poin sekitar 11000. Langsung saya telepon call center Garuda, ternyata poin saya cukup untuk ditukar tiket 1x terbang dari Jakarta ke Yogyakarta (atau sebaliknya). Tiket Jakarta-Yogyakarta bisa didapat dengan menukarkan 8000 GFF poin. Lumayan saya bisa berhemat dengan hanya membayar tiket pulangnya saja. Petugas call center Garuda membantu saya untuk booking tiket Jakarta Yogyakarta sekaligus redeem poin GFF saya tadi. Saya diberi nomor bookingnya & ternyata saya tetap harus datang ke kantor cabang Garuda untuk membayar pajak & mendapatkan tiketnya.

Tadi sore saya mengunjungi kantor Garuda Indonesia Gallery di Senayan City (ada di lantai 2). Di sana loket untuk pemegang kartu GFF dibedakan dengan layanan regular. Saya perlu menunggu sekitar 4 nomor antrian, lebih kurang 20 menit saya menunggu giliran dipanggil.

Proses mengambil tiket ini cukup cepat, saya tinggal memberitahukan nomor booking yang sudah saya dapat via telepon minggu lalu. Saat menukar tiket ini saya perlu menyerahkan kartu GFF & KTP. Katanya kartu GFF perlu digesek untuk memotong poinnya.

Saya juga perlu membayar Rp45.000,- untuk pajaknya. Sangat murah untuk ukuran tiket pesawat Jakarta-Yogyakarta yang normalnya sekitar Rp700ribu sekali jalan.

Ternyata belum ada kepastian apakah saya harus berangkat dari Bandara Soekarno Hatta atau dari Halim Perdanakusuma. Bagi yang belum tahu sejak 10 Januari 2014 lalu, Garuda Indonesia memindahkan beberapa penerbangannya ke Halim. Yang saya baca di Internet, salah satu penerbangan yang pindah ke Halim adalah jurusan Yogyakarta. Tapi si Mbak yang melayani saya tadi belum bisa memastikan apakah penerbangan saya ke Yogyakarta berangkat dari Halim atau masih seperti sekarang di Cengkareng. Katanya mungkin saya akan dihubungi kembali bila nanti penerbangannya pindah ke Halim.

Ini kali kedua saya menukarkan GFF poin, tahun 2008 lalu saya menukarkan GFF poin dengan 2 tiket pulang pergi ke Singapore. Menukarkan GFF poin ke penerbangan luar negri pajaknya lebih besar, sekitar USD$98. Periode 2008 lalu saya memang sering sekali bepergian dengan Garuda, poin saya cukup banyak saat itu. Saking seringnya menggunakan Garuda, saya pernah mendapat GFF Gold. Kalau tidak salah GFF Gold bisa didapatkan bila poin GFFnya sudah mencapai 30000.

Bila Anda tertarik dengan poin Garuda Frequent Flyer, Anda bisa baca info lengkapnya di websitenya GFF.